Rabu, 13 Mei 2015

Seorang Ibu Boleh Marah

By Santy Musa,S.Psi

Suatu kali dalam sebuah pertemuan ibu-ibu, seseorang nyeletuk, “Dengan anak harus lembut ya, Bu. Jangan sampai di tempat umum terlihat lembut tapi di rumah anak-anak diteriakin. Di depan umum saat anak berulah bilang ‘Sayang, jangan dong’, di rumah boro-boro dipanggil ‘Sayang’, yang ada dimarahin.”

Mendengar itu dada saya langsung terasa sesak. Help Me!

Iyes! Pada satu titik, keadaan itu terasa “gue banget”. Artinya, kadang saya begitu. Tapi, kenapa seolah kata-kata itu menusuk? Saya tidak akan serta merta mengatakan, “Iya ya. Seharusnya saya tidak begitu. Saya harus lebih baik dalam menjadi seorang ibu.” Lalu timbul rasa bersalah, timbul rasa sedih belum menjadi ibu yang baik. Lalu bersusah payah menahan gejolak di dada dan berhari-hari menjadi drama queen dengan peran “ibu yang tak sempurna”. Ya! Semua itu terjadi tak lama setelah “instropeksi diri”. Salahkah kalau kita instropeksi diri? Tidak. Masalahnya, yang perlu instropeksi diri bukan hanya saya!

Orang Lain Pun Perlu Instropeksi Diri

Saya cenderung akan menyuruh ibu yang bicara di atas tadi untuk menyunting kembali redaksional yang dipilih. Saya membayangkan, berapa banyak ibu yang akan terluka mendengar kata-kata itu?

Beban seorang ibu tidaklah semudah dengan mengatakan “di luar begini di rumah kok gitu”. Pernahkah membayangkan saat dengan muka berseri seorang ibu mendandani anak-anaknya, dijejer di kursi cantik, lalu jepret! Foto manis ter-upload di medsos. Dikomentari sama sanak saudara, sahabat, rekan rumpi, tetangga sebelah, sampai teman SD. Padahal siapa tahu satu jam yang lalu ia berteriak marah sama anak manis itu bahkan sampai mencubit pantatnya?

Lalu apa yang terjadi? Saat membaca komen, hatinyatersentuh. Sesungguhnya ia sangat mencintai anak-anak manis itu. Lalu saat mereka tertidur di pangkuannya, ia menciuminya penuh penyesalan. Ia meminta maaf pada anak-anaknya dalam kebisuan dengan air mata meleleh-leleh. Ia berjanji dalam diri sendiri untuk tidak mengulanginya lagi. Itu sudah bagus, percayalah!

Seorang Ibu Bisa Lelah

Berapa banyak ibu-ibu yang kelelahan dan ingin mendapat kedamaian daripada celaan? Apa yang salah dengan “teriakan kepada anak”? Tidak ada ibu yang sempurna.

Tidak semua ibu memiliki kemewahan seperti beberapa pembantu atau baby sitter yang mereka miliki. Memiliki bermacam fasilitas yang memudahkan mereka untuk tidak merasa kelelahan lahir dan batin.

Tidak semua ibu memiliki keluarga yang harmonis yang mampu membuat mereka menjadi pejuang tangguh yang tanpa cela.

Tidak semua ibu bla … bla … bla …

No excuse, dong! Atasi dulu masalah mereka. Tetap selamatkan anak-anak!

Betul. Itu mulia. Kita akan memiliki banyak cara untuk menyelamatkan anak-anak. Tapi sudahkah berpikir bagaimana kita akan menyelamatkan seorang ibu?

Ada banyak cara seorang ibu untuk mengerti bahwa mereka kurang sempurna, bahwa mereka harus belajar untuk menjadi ibu yang lebih lagi. Percayalah saat seorang ibu sudah rela menepikan hobinya berumpul bersama teman-temannya di warung kopi eksekutif dimana mereka melakukannya untuk bersenang-senang alih-alih me-time, saat mereka rela memakai tabungannya untuk membeli kebutuhan anak-anaknya daripada sekedar mewujudkan incaran sebuah tas bermerek Eropa demi gengsi, saat mereka menangis sedih tidak bisa datang ke salon karena harus menemani anak-anaknya. Jangankan hal-hal mewah seperti itu, mau ke kamar mandi saja susah! Harus bawa anak masuk ke dalam. Percayalah, saat itu terjadi, mereka adalah ibu-ibu yang baik yang bisa saja berteriak kepada anak-anaknya.

Jangan Dengarkan Orang Yang Hobi Menghakimi

Makanya, punya anak jangan banyak-banyak. Satu saja susah. OMG! Itu pilihan Anda, Mom. Tapi jangan menambah beban dalam menakar orang lain ya.

So natural! Seorang ibu memiliki emosi: marah, sedih, senang, kecewa, bahagia, dll. Terkadang, orang lainlah yang perlu memperbaiki dirinya. Bukan hanya seorang ibu yang ditunjuk-tunjuk!

Orang berbusa-busa menjelaskan bagaimana sebuah teriakan bisa mematikan berjuta sel di otak anak, betapa teriakan bisa menumbuhkan kecemasan pada perkembangan emosional anak. Jangan lupakan, bahwa kecemasan seorang ibu juga bisa memengaruhi pertumbuhan emosional anak-anak. Saat mereka belajar bahwa ibu mereka bereaksi terhadap suatu masalah dengan perilaku kecemasan. Sayangnya, kecemasan ini justru datang karena ia sangat ingin menjadi ibu yang sempurna bagi anaknya. Ia merasa gagal. Ia tidak menyadari bahwa di dunia ini cermin tidak hanya ada di tangannya.

Apakah kita harus ikut berada dalam situasi yang menekan orang lain?

Insting Seorang Ibu Adalah “Menjadi Ibu yang Baik”

Saya sendiri pernah merasakan bahwa emosi saya lebih tertata saat saya berada di tempat umum. Saya merasa tidak sendirian. Saya merasa lebih rileks saat anak saya merengek ataupun rewel. Saya lebih bisa tenang menghadapi anak-anak dan merasa itu adalah sebuah kedamaian. Saya punya sisi yang keibuan. Justru jika seorang ibu memarahi anaknya di tempat umum, bukankah itu aneh? Jangan pernah hakimi mereka. Barangkali mereka justru telah memperlihatkan sisi depresifnya. Jika tidak dapat membantu, lebih baik kita diam.

Saya justru berpikir, dengan insting keibuannya, banyak wanita tahu dirinya salah atau benar. Banyak wanita yang setidaknya memiliki alarm alami untuk sekedar bertanya: saya benar atau tidak ya? Itulah titik dia ingin menjadi sempurna. Di situlah terletak kesadaran untuk membaca atau berdiskusi dengan sesama teman tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik, bagaimana agar anak berkepribadian kuat, dan “bagaimana” lainnya yang mampu menyelamatkan anak-anak dari pengasuhan yang salah.

Kesadaran inilah celah pengetahuan. Saat seorang ibu siap menerima pengetahuan (baik dengan teori maupun pengalaman), saat itulah nilai-nilai berkembang dalam dirinya. Sampai lelah kita berteriak, “sebaiknya begini, sebaiknya begitu,” hanya akan melelahkan bagi kita semua. Yang berteriak tentang idealisme merasa frustrasi, yang diteriaki juga merasa gagal. Menanggung perasaan cemas. Siapa yang menjamin perilaku cemas akan membuat seorang nyaman? Tidak. Dia akan lebih sering berteriak karena panik.

Seorang ibu selalu ingin menjadi yang terbaik, meskipun tidak sempurna. So, jangan jadikan rasa bersalah akibat ekspresi marah sebagai label bahwa Anda bukan seorang ibu yang baik, Bunda. Teruslah berproses dengan mendengarkan insting keibuan yang telah diberikan Allah.

Profil Penulis:
Santy Musa, S.Psi adalah seorang ibu rumah tangga dan penulis lepas yang menyukai dunia wanita dan hal-hal yang berhubungan dengan eksistensialisme. Telah menerbitkan beberapa buku dan menjadikan kegiatan menulis sebagai penjaga pikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar