Senin, 15 Juni 2015

Resume buku Anak yang Bermain, Anak yang Cerdas

Pandangan kita tentang anak pada umumnya sangat mempengaruhi bagaimana kita bertindak dengan anak sehari-hari. Pandangan bahwa anak merupakan kertas kosong dipopulerkan oleh filsuf abad ke-17, John Locke.  Pandangan ini masih berpengaruh kuat dalam dunia pendidikan saat ini. sisi negatif dari pandangan ini ialah anak dianggap pasif dan hanya berada dalam posisi penerima. Alhasil, cara mendidik kita cenderung satu arah, dari orang dewasa yang ‘mahatahu’ ke anak yang masih ‘kosong’. Padahal, sejatinya anak memiliki kemampuan sendiri untuk mengeksplore segala hal, dan ini termasuk kemampuannya untuk belajar.
Kemampuan belajar pada anak usia dini berbentuk dalam kegiatan bermain. Bermain adalah pekerjaan anak. Melalui permainan, anak belajar banyak hal. Melalui permainan pula kita memiliki banyak kesempatan untuk mengajarkan berbagai yang kita inginkan kepada anak kita, misalnya: matematika, membaca, konsep bentuk, pengenalan warna, budi pekerti, hingga menulis. Contoh kegiatan bermain anak ini misalnya dua orang anak sedang menggambar denah rumah di sebuah white board sementara itu anak-anak yang lain membangun rumah tersebut sesuai denah dengan menggunakan balok kayu. Kegiatan ini bukanlah permainan yang tidak berarti. Ada banyak hal yang dapat dipelajari anak. Mereka mendapatkan kesempatan untuk mengenal berbagai konsep penting dalam dunia orang dewasa, seperti perencanaan, membuat denah, menerapkan denah dalam bentuk fisik, mampu menyelesaikan sebuah masalah, berlatih sabar menunggu giliran, berbagi dengan orang lain, serta membaca dan menulis.

Pada anak usia dini, anak-anak akan sangat peka terhadap penggunaan panca indra untuk memahami dunianya. Maka, pemberian materi akan lebih efektif jika dilakukan secara konkret. Anak akan lebih paham konsep besar-kecil, dengan memberikan dua buah benda yang sama namun berbeda ukurannya, misalnya.

Bagi anak usia dini, proses melakukan sesuatu lebih penting dan bermakna daripada hasil akhirnya. Saat membuat suatu karya bersama anak, terkadang kita fokus pada bagimana agar hasil akhirnya bisa semenarik ilustrasi yang diberika. Tanpa kita sadari, kita mengambil alih apa yang sehrausnya dikerjakan oleh anak. Hasil akhir yang baik memang memberikan kepuasan tertentu. Namun, fokus pada hasil akhir saja sebenarnya kita mempersempit peluang untuk melatih berbagai aspek perkembangan pada anak.
Ada dua hal penting yang perlu kita perhatikan dalam proses pembelajaran bersama anak. Pertama, memberikan pengalaman melalui observasi atau praktek langsung. Kedua, memberikan anak kesempatan untuk berdialogdengan diri sendiri maupun orang lain. Setelah diberikan kesempatan untuk melakukan observasi, anak perlu mengekspresikan apa yang dipikirkannya kepada orang tua ataupun guru, baik berupa komentar ataupun pertanyaan. Melalui dialog ini, informasi yang diterima anak semakin utuh dan tidak mudah untuk dilupakan.
Kegiatan yang dapat memperkaya pengalaman anak tidaklah harus selalu menggunakan mainan yang canggih dan mahal. Kita sebenarnya bisa menilai mainan seperti apa yang lebih menarik dan berkesan bagi anak. Sebagai contoh, Ryan (2 tahun) baru saja dibelikan sebuah robot oleh ibunya. Ia senang sekali dan langsung memainkan robotan yang menggunakan baterai tersebut. Namun, tak lama kemudian, robot tersebut tergeletak di sudut ruangan. Ia kemudian asyik bermain dengan menggunakan panci serta beberapa sendok yang ia temukan di dapur. Ia tampak lebih asyik memainkannya. Memasukkan sendok ke dalam panci, memukul-mukul panci dengan sendok tersebut, hingga kemudian sang ibu datang menghampirinya.
Permainan sederhana tersebut ternyata memberikan lebih banyak peluang kepada Rian untuk melakukan eksplorasi. Ia terkesan dengan bunyi saat sendok jatuh, saat panci-panci ditumpukkkan dan kemudian terjatuh, saat memukul-mukul panci dengan sendok, dst. Demikianlah eksplorasinya berlangsung dengan penuh konsentrasi. Sementara itu, apa yang dapat ia lakukan pada mainan robotannya selain hanya menggeser tombol on-off lalu melihatnya berjalan.
Anak usia dini memang cenderung lebih tertarik pada objek yang dapat ia ‘manipulasi’. Dengan cara demikian, anak belajar mengenai objek yang dipegangnya. Piaget mengemukakan bahwa anak usia dini belajar mengenai dunianya dengan cara yang konkret, maka itu ia perlu berinteraksi langsung dengan lingkungannya. Meskipun setiap anak memiliki dorongan alami untuk mencari pemahaman mengenai dunianya secara aktif, itu bukan berarti kita selaku orangtua menjadi diam saja. Justru sebaliknya, kita memegang peranan penting dalam menciptakan lingkungan yang kaya akan pembelajaran bagi anak, memperluas eksplorasi anak, dan memberikan banyak peluang kegiatan permainan untuk anak.
Pada dasarnya, anak ingin diberikan kesempatan melakukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya juga bisa. Ia punya dorongan alamiah untuk meniru apa yang dikerjakan orang ddewasa untuk belajar, menjadi mandiri, dan bertanggung jawab. Jika diberi kesempatan, kemandirian, kepercayaan diri, serta rasa tanggung jawab, maka ia akan semakin berkembang. Karakter positif tersbut, menurut sebuah penelitian, merupakan karakter yang dimiliki oleh orang-orang yang tangguh. Dan, sesungguhnya anak yang mandiri, percaya diri, dan bertanggung jawab akan lebih siap menghadapi berbagai tantangan di ekmudian hari. Oleh sebab itu, anak perlu juga diberikan stimulasi permainan yang berbentuk practical life skills, seperti menyapu, mengancing baju, mengikat tali sepatu, membersihkan piring, dan sebagainya.
Kegiatan bermain anak lainnya yang perlu diperhatikan ialah mengajak anak bermain di tempat terbuka, bermain air dan pasir, serta bermain peran. Dengan mengajak anak bermain di alam terbuka, anak akan mendapat banyak pengalaman mengenai lingkungannya, misalnya melihat semut berbaris, memperhatikan daun bergerak tertiup angin, menginjak ranting hingga patah, memperhatikan bayangan dirinya yang muncul, dan sebagainya. Sementara itu, air dan pasir merupakan media belajar yang sangat disukai anak. Kedua media ini memberikan banyakpeluang untuk meningkatkan berbagai kemampuan anak. Mulai dari kemampuan motorik halus anak, pemahaman mengenai sains, kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, berpikir logis, kemampuan membaca, berhitung, menulis, hingga kemampuan bersosialisasi. Demikian pula proses kegiatan bermain peran, anak dapat mengembangkan imajinasinya. Melalui kegiatan bermain peran, anak belajar mengenal dunianya. Belajar mengenai berbagai peran yang dimainkan oleh orang dewasa di sekelilingnya. Bermain peran juga dapat memberi kesempatan kepada anak untuk menuangkan dan menanggulangi perasaannya. Misalnya, seorang anak seolah-olah membujuk bonekanya yang sedang sakit agar tidak takut disuntik oleh dokter. Dengan memainkan peran tersebut, ia sebenarnya sedang memproses ketakutannya sendiri.
Dalam proses pembelajarannya, anak akan mengenal kegiatan membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Kegiatan ini seringkali menjadi sorotan utama orangtua sebab kemampuan ini akan menjadi tolok ukur saat anak masuk SD. Hal ini seringkali menyebabkan orangtua men-drill anaknya dengan berlembar-lembar kertas kerja. Anak ‘dipaksa’ duduk diam untuk mengerjakan lembar kerja tersebut untuk memahami konsep calistung. Lembar kerja boleh saja diberikan pada anak, namun perlu diimbangi dengan kegiatan khas anak usia dini, yaitu bermain. Orang tua dapat memasukkan unsur calistung dalam kegiatan permainan anak. Misalnya, memberikan label angka pada gerbong kereta api yang dimiliki anak, lalu mengajak anak untuk sama-sama menghitungnya.
Membaca dan menulis merupakan dua kemampuan `yang berkembang secara beriringan dan berkaitan satu sama lainnya. Kemampuan ini  bisa berlangsung karena adanya usaha aktif dari anak sendiri serta stimulasi dari lingkungannya. Pada usia dua tahun, anak cenderung mencoret-coret apa saja yang ia temui, dari kertas, buku, hingga dinding. Janganlah  melarangnya, sebab kegiatan ini merupakan langkah pertama dari perkembangan kemampuan menulis pada anak. Dengan mencoret-coret, anak melatih kegiatan motorik halus, konsentrasi, serta koordinasi mata dan tangannya. Tahapan selanjutnya ialah coretan linier sebab anak telah lebih mampu mengendalikan alat tulisnya. Pada tahap ini, anak sudah mulai memahami arti tulisan bagi dirinya sendiri. Tahap selanjutnya ialah coretan linier berbentuk huruf. Coretan ini sudah mulai mendekati huruf maupun angka yang sebenarnya. Pada tahap ini, anak semakin memahamimanfaat tulisan bagi dirinya. Anak juga semakin siap untuk menerima instruksi formal sehubungan dengan belajar membaca dan menulis, sehingga kemampuannya akan berkembang pesat. Demikianlah tahapan yang dilalui anak dalam perkembangan kemampuan menulisnya.
Kesimpulan
Berdasarkan resume buku tersebut, saya menyimpulkan bahwa jangan pernah memisahkan anak dari dunianya, yaitu bermain! Dalam kegiatan permainannya, orangtua selaku lingkungan terdekatnya harus berperan aktif untuk memberikan berbagai stimulasi kegiatan bermain anak. Anak yang diberikan kesempatan dan peluang untuk mengeksplorasi serta diberikan berbagai stimulasi tentunya berbeda dengan anak yang jarang bahkan tidak pernah diberikan stimulasi. Contohnya, saat seorang anak melihat sebuah bola. Anak yang jarang atau tidak pernah mendapat stimulasi hanya berpikir untuk menendang bola tersebut. Berbeda dengan anak yang sering mendapat stimulasi. Ia akan berpikir, apakah bola itu harus ia tendang (bola tendang), ia pantulkan (bola bekel), ia gelindingkan (bowling), ia lempar (volly), atau ia masukkan ke dalam gawang (basket). Untuk itulah, orangtua perlu melakukan berbagai permainan ‘manipulasi’ dengan anak. Misalnya, menjejerkan beberapa botol menjadi berbetuk segitiga lalu mengajak anak untuk menggelindingkan bola (permainan bowling), dsb. Stimulasi-stimulasi yang diberikan lingkungan (orang tua/guru) kepada anak haruslah sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Sebab, anak-anak akan kehilangan minat belajar jika materi yang ia dapatkan terlalu mudah ataupun terlalu sulit. Dengan demikian, mengetahui tahapan perkembangan dan pertumbuhan anak merupakan hal wajib yang harus dipelajari orangtua. Selamat belajar dan bertumbuh, Ayah-Bunda!

Sumber resume: Dewey Chugani, M.Si,

Ir. Shoba. Anak yang Bermain, Anak yang Cerdas. 2009. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Disarikan oleh: Julia Sarah, S.Hum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar